Menggenggam Kenangan

Aku Syeila. 16 tahun bukan usia minimal mengenal cinta. Perkenalan itu membawa seluruh pahit manisnya suatu masa. Anehnya, semua itu mampu meninggalkan jejak cerita. Ingatan awal mula bertemu, bak burung merpati yang bertengger di jendela. Memaksaku membuka lembaran kertas usang yang dibawanya. Ini bukan pertama kalinya, juga bukan untuk terakhir kalinya jari ini membuka dan terbawa hanyut dalam lembaran itu.

Setiap jiwa muda berusaha menyelam kembali mengingat cinta pertamanya, berjuta kenangan yang terpendam di dasar samudera, membuatnya menjadi bahagia tanpa memedulikan seluruh kepahitannya.

Awal 2015. Seorang lelaki yang entah kapan aku dengannya sudah lama berbalas rangkaian kata melalui SMS, dia menemuiku. Siang itu hatiku dengannya berdengung, mencekam dalam suasana kelas kosong yang ditinggalkan penghuninya. Aku dengannya membisu, kecuali detik jam. Ia bergemuruh berusaha memecahkan keheningan. 

Dengannya, bagaikan dua kekuatan yang sama. Mengenakan kesunyian masing-masing. Dihadapannya seluruh kataku moksa, aku tak mampu menyebut namanya, memandangnya pun sangatlah berat.

Keheningan berkelanjutan, tepat menit kesepeluh, dia mengeluarkan suara penuh kasih sayang juga kelembutan, berkata, “Labuhlah di hatiku. Aku mencinta, dan memujamu.” Lirih, namun menghentikan duniaku. Seakan menjerit, hingga jeritan ini terdengar sampai langit ketujuh. Aku berusaha menjelajah sedalam-dalamnya alam pikiran ini dan merenungi arti dari ucapan tersebut. 

Nyatanya semua itu nihil untuk kulakukan. Tidak ada yang tahu pasti hati setiap kepala. Ia senyap tak terjamah dengan akal pikiran sekalipun. 
Sunyi.
Sepi.
Hening. 

Mencinta dan memuja belum kutemukan pada jiwa ini, apa yang harus aku jawab kepada alam bahwa hatinya berpihak padaku. Seindah inikah rencana Tuhan? Ini bukan misiku untuk dicinta, bukan pula tujuanku untuk bersama.

“Kenapa harus aku?” tanyaku saat aku dengannya menyusuri lorong kelas. Dia hanya membisu, membungkam. Sedangkan aku ingin terus mengulik apa alasannya. 

“Naiklah, awan hitam enggan melihatmu terkena tetesan hujan.” ucapnya dengan menaiki motor merah. Namun, aku masih tegak berdiri menyender pilar mengharap sebuah alasan yang keluar dari mulutnya, “Aku mencinta. Memujamu. Naiklah.” sambungnya.

Malam ini aku dengannya larut dalam suasana bahagia, kehadirannya mampu memporak-porandakan hatiku. Menitahku hingga mampu menggapai rasa memiliki. Detik ini aku merindunya. Meski satu menit lalu, telah mendengar suaranya menyanyikan lagu keabadian. “Bagaimana kuucapkan kata manis, jika bayangmu saja terasa lebih puitis.” gumamku dengan memandang langit-langit kamar.

Hari demi hari berjalan dengan memahami karakter masing-masing. Berbeda dengan umumnya orang bercinta. Dia tak pernah sedikit pun menyentuhku. Dia sangat menjagaku, kehormatanku, mahkotaku. Dia abadi, mampu memuliakan.

“Apakah minggu ini bak satu jam memabukkan yang akan digantikan dengan kenyataan?” tanyaku.  

“Tong kosong apa yang kau bicarakan, Kekasihku.” jawabnya dengan terus melihat seiko di tangannya, mengharap sesuap ganjalan perut datang di kantin sekolah.

“Kau mencinta, aku mencinta, kau memuja, aku memuja. Jangan sesekali membuat perencanaan kisah ini berakhir.” lanjutku memandangnya.

“Aku akan menjadi apa yang kau inginkan, Syeilaku.” ujarnya dengan membalas tatapan mataku. Bagaimana aku bisa merangkai kata menjadi frasa, tatapannya saja jauh lebih mendebarkan.

Tak terasa genap 362 hari raga ini melewati warna-warni kehidupan. Hingga kebahagiaan memberi tanda bahwa selamanya akan bersama. Berdua hingga ubun-ubun memutih.

Namun, tabir menyingkap takdirnya. Suatu hari dia mendapatiku bercanda mesra dengan seorang teman masa lampau. Dia murka dengan kehadiran temanku. Kecemburuan itu mengguncang seluruh alam. Aku menjelaskan semua kejadiannya bahwa semua itu hanya tebar kabar saja, tidak lebih dan tidak akan pernah lebih. Namun dia terlanjur kecewa. Melebihi kekecewaan matahari yang tak pernah bertemu dengan sang bulan.

“Kau tak pandai menjaga hati, Syeila.” bibirnya bergumam dengan getaran dahsyat. Bahtera tinggi runtuh dengan sekejap. 

“Dia hanya teman, tidak lebih seperti kau denganku.” jawabku dengan menghadapnya.

“Kau pandai menutupinya.” ucapnya.

“Tidak, tidak seperti itu.” jawabku dengan deras air mata.

“Kau khianat.” ucapnya.
Semilir angin berhembus dengan penuh khidmat, hingga ranting tega menggugurkan daunnya. Bukit Tangkeban menjadi saksi bahwa aku telah berkhianat. Menyia-nyiakan cinta. Menganggap remeh sebuah perhatian. Lebih hina dari selingkuh.

“Maafkan aku, Kekasihku.” seruan ini muncul berkali-kali. Hatiku terpungkur jatuh, sulit menopang keadaan. Sesekali aku memandangnya, namun ia enggan berbalik memandangku. “Aku akan merubah semuanya.” sambungku.

“Terlambat.” jawabnya.

“Beri aku kesempatan. Ketahuilah aku tidak mencintanya, aku mencintamu.” kataku dengan terus mengharap.

“Aku kecewa, sakit. Apakah cinta akan kembali seperti semula, sedangkan kesuciannya telah pudar?” jawabnya.

Mengembalikan keadaan seperti semula memang mustahil. Apakah ada hari esok untuk hubungan ini Tuhan? Batinku. 

“Aku memaafkanmu. Tapi tidak dengan hubungan ini.” singkatnya. 

Semua hening. Hanya ada tangisku yang terus menyeru. Aku tak bisa berkata-kata. Seolah aku bisu, bungkam seribu bahasa. Tuhan pun seperti murka, aku sungguh menyesalinya. Hari-hari bersamanya seakan beranjak menuju kenangan. 

“Untuk pelajaran kita, khususnya dirimu. Bahwa jagalah laki-laki yang benar-benar mencintamu.” jelasnya.

“Beri aku kesempatan wahai Kekasih. Aku mohon dengan segala mohon.” pintaku dengan menundukkan kepala.

“Selamat jalan kekasihku, semoga kita menemukan jalan kebahagiaan masing-masing.” sambungnya yang merupakan kata-kata terakhir.

Aku hanya menunduk, terpuruk, tak kuasa aku menjelaskan. Semua hancur berkeping. Tak memedulikan hati mana yang lebih sakit. Aku memahami posisinya, mungkin ini jawaban alam kepadaku. Pelajaran buat diriku. Tamparan keras atas perilakuku.

Aku tiba di kamar, seperti burung terluka yang tertembak peluru. Aku jatuh di ranjangku. Ucapan selamat berpisah terus terngiang. Semua tinggal cerita yang akan menjadi buku keabadian, bertahta paling tinggi dalam deretan kasih cinta.

Aku masih mencinta, merindu dan memuja. Selamat berpisah Gibran. Dari Syeila yang masih menggenggam harapan.

Author: Imroatus Sholichah

Post a Comment

0 Comments