Jalan Paling Mungkin
Ongki Arista U A
Mencintaimu
adalah apa yang aku takutkan selama ini. Dari sekian banyak rasa takut yang
menumpuk dalam diriku, aku putuskan untuk mengambil satu rasa takut saja
sebagai rasa takut terbesar dalam hidupku. Aku takut kau tidak mencintaiku.
Rasa takut itu melebihi rasa takutku pada kematian. Hanya kamu yang dapat
membantu menghilangkan rasa takutku itu atau jika tidak, aku akan mati-matian
menghilangkan rasa takut itu. Yang harus kau ketahui, setiap hari aku
menghadapi kematian, sebab ketakutan yang datang selalu melewati belantara
kematian. Tidak dicintai olehmu masih lebih kejam dari kematian.
Dulu,
suatu masa yang mungkin kau lupakan, kau menolak cintaku. Waktu itu, aku masih
SMP. Kau memilih lelaki lain, seorang laki-laki yang akhirnya kau tinggalkan
beberapa bulan lalu. Aku tau, hubunganmu dengannya bukan cinta yang biasa. Kau
telah bertahun-tahun menjalin kasih. Segala halangan telah kau selesaikan
bersama kekasihmu. Segala kenikmatan telah kau ambil bersama kekasihmu. Kulihat
dengan jelas, duniamu hanya ada dirimu dan dirinya.
Setiap
seminggu sekali kau meluangkan waktumu untuk pergi ke suatu tempat yang indah
bersama kekasihmu. Kau bergandengan tangan dengan mesranya, berbagi senyum
sepuasnya, bercanda tawa tanpa jeda. Kemudian aku mulai ragu, masihkah kau
perawan saat kulihat kau dan lelakimu menuju suatu rumah penginapan sempit
berkamar satu. Ini bukan yang pertama kusaksikan kau memasuki sebuah kamar
hotel, penginapan dan vila berdua bersama lelakimu. Aku hanya menguntitnya dari
kejauhan sambil mendokumentasikan kemesraanmu itu. Tawamu lepas begitu saja
sebelum kau hilang ditelan pintu. Kutahu kau tidak sedang meminum alkohol. Kau
dalam keadaan sadar diri menuju kamar tidur bersamanya.
Aku
menunggu esok. Aku yang akan pertama kali melihatmu keluar dari kamar tempat
kau tidur telanjang bersama kekasihmu. Aku yang akan pertama kali menikmati
sakit di hati. Aku pula yang akan pertama kali mendokumentasikan dirimu di pagi
yang buta. Aku tunggu kau di kursi kayu, dekat pohon cemara udang. Semalam
suntuk aku akan sibuk memikirkan dirimu yang ditelanjangi kekasih harammu itu.
Tapi kuyakin, kau lebih percaya pada cintamu. Cinta mungkin kau anggap sebagai
pengadil segala kelakuanmu. Bersetubuh dengan kekasihmu dihadapan cinta kau
hukumi halal, tidak haram. Mungkin, cintamu adalah segalanya melebihi norma
agama sekalipun. Bagi cinta, itu pengorbanan dan cinta. Tapi, kau lupa, cinta
itu bisa hancur struktur kesuciaannya saat kau sendiri mencampurnya dengan
nafsu binatangmu. Bukan cinta suci lagi yang kau pandang. Tapi nafsu, tapi
nafsu, tapi nafsu.
Pagi
yang suram ini, kau mulai membelah pintu, menggeliat lalu keluar menuju tepi
pantai dengan pakaian yang tak beraturan. Kekasihmu mengiringi langkah manja
kakimu. Dengan tulus dan ikhlas kulihat tatapan matamu seraya menyerah pada
lelaki yang kau pegang tangannya sejak keluar pintu. Kau berjalan menuju bibir
pantai. Lalu kau duduk di kursi yang hanya cukup untuk satu orang. Kau bangkit,
dan duduk di pangkuan lelakimu. Kau sandarkan kepalamu dengan tenang dan penuh
kepasrahan. Aku ambil momen indahmu dari arah samping. Lalu aku pindah ke arah
depan, dan memotretmu tanpa penghalang apapun. Aku titik-fokuskan lensa pada
senyum bahagiamu. Selain senyummu, aku buat blur, bahkan tak kelihatan lelakimu
yang sedang melekatkan pipinya ke kapala bagian kananmu. Aku ingat sekali momen satu tahun terakhirmu
itu.
Sebagai
kameramen, aku hanya bisa menikmati tubuhmu dalam layar yang sempit, dalam
kertas yang tipis. Aku tak bisa merasakan senyummu hidup seperti aslinya. Aku
hanya menemukan senyum yang kaku di
setiap foto yang aku ambil. Tidak ada pilihan lain selain berharap, berharap
ada suatu masa yang indah untukku menikmati cinta ini. Dalam ketakutan ini, ada
harap yang lebih penting, yang lebih mulia untuk dipikirkan selalu. Aku harap
kau juga mencintaiku. Dengan kau mencintaiku, ketakutanku akan sirna mengiringi
harapan yang terkabul.
Aku
manusia biasa yang hidup dengan harapan juga ketakutan. Bagiku, harapan adalah
nyala api yang dapat membuat segala hal terang dalam kegelapan dan ketakutan
adalah lautan kegelapan yang menyeramkan. Dalam hidup ini, jika sekedar
berharap saja itu sulit, maka pastilah alasan pokoknya karena ketakutan terlalu
dipelihara. Untuk itu, hanya harapan itu yang dapat mengubur rasa takutku yang
kian membuncah.
Aku
tak dapat berlama-lama menikmati ketakutan ini. Yang mengerikan dari ketakutan
adalah tumbangnya harapan. Semakin lama aku takut, semakin tenggelam harapanku.
Demi suatu masa yang indah, aku tak dapat berkata banyak untukmu. Cukup idzinkan
aku menitip harapan cinta ini padamu, jika tidak, buatlah aku takut
selama-selamanya, bahkan takut untuk mencintai siapapun di dunia ini.
Sebentar
lagi, ya, sebentar lagi kita akan ditali-temalikan dengan cincin. Kita akan
menuju satu tangga yang lebih serius dari pacaran. Pertunangan kita akan segera
dilangsungkan, dua hari lagi. Aku tak tau harus mengulas apa di hadapanmu
kelak. Bertunangan denganmu hanya keberuntugan yang tak pernah terpikirkan.
Ayah kita yang akrab sejak dulu kala adalah alasan utama pertunagan kita. Aku
mau saja dengan pertunangan ini karena memang aku mencintaimu. Aku tau kau
mencintai lelaki lain, bukan aku dan aku bukan sosok lelaki yang kau idamkan
dan aku mungkin tak akan pernah menjadi idamanmu. Tapi, apa yang harus aku
perbuat dengan pertunangan mendadak selain membumbuinya dengan harapan? Jika
kelak kau tetap tak mencintaiku, maka cukup katakan saja. Kau akan kulepaskan
jauh. Satu yang terpenting, meski aku berharap banyak padamu, aku tak dapat
mengekangmu begitu saja. Bagiku, hak kemanusiaan tetaplah yang utama melebihi
cinta. Cinta tak dapat dipaksakan sama sekali.
Aku
tak akan pernah menjadi seperti lelakimu yang terakhir. Aku tak akan meniru
gaya rambutnya, cara berbajunya, cara bicaranya, cara menciumnya dan cara
mengajakmu memulai dosa di dalam kamar hotel. Aku akan tetap menjadi aku yang
seperti ini, yang sudah ada sebagaimana adanya. Cinta tak dapat begitu saja
menghapus identitas seseorang. Cinta yang tulus selalu dimulai dengan
penerimaan yang apa adanya. Cinta adalah penyatuan identitas satu dengan yang
lainnya dan cinta adalah adaptasi antar identitas. Aku benarlah mencintaimu,
tapi menjadi orang lain agar dicintai olehmu bukanlah cara yang sesuai dengan
pikiranku.
Jika
kelak Tuhan menjodohkan kita, maka
berarti sekarang Tuhan telah membukakan hatimu untukku, jika tidak, maka akan
aku cukupkan cinta ini sebagai cinta yang paling akhir, aku tak akan mencintai
siapapun lagi. Aku tidak akan berharap apa-apa lagi. Aku akan menemani
ketakutan ini selama mungkin. Aku akan senantiasa memendam diri ini dengan
ketakutan. Dengan begitu, aku sempurna menjadi manusia penakut.
"Setelah
pertunangan ini, apa yang harus aku perbuat di hadapan orang yang tidak
mencintaiku?" Aku pastikan diriku bukan sosok lelaki egois. Aku tak mau
semena-mena bertingkah menguasai perempuan yang kata orang aku
kuasai--pertunangan adalah jalan menguasai perempuan--kata banyak orang.
"Kau
jangan mencintaiku. Dengan itu, kau tak akan merasa perlu berbuat
apa-apa," jawabnya. Dia tak menatapku sama sekali.
"Aku
bertanya begitu karena aku mencintaimu."
"Kau
sudah dengan jelas mengetahui jika aku tak mencintaimu. Kenapa kau berani
mencintaiku? Itu salahmu sendiri"
"Aku
tak punya keberanian apa-apa. Aku tak pernah berani mencintaimu. Justru
ketakutan. Ketakutanku benarlah nyata. Kau benar-benar tak mencintaiku"
"Sudah
jelas. Jangan pernah lakukan sesuatu yang berbau cinta untukku selama
pertunangan kita berlangsung. Kau cukup lakukan tanpa cinta. Aku tak
menyukaimu." Jawabnya menusuk-nusuk kalbu. Aku tak menemukan celah harapan
sedikitpun.
"Ucapanmu
sudah lebih dari cukup untuk mengantarku pada jalan yang paling mungkin."
Aku
mengantarnya pulang. Ini hari pertamaku menghirup udara yang sesak setelah
bertunangan. Jalan menuju rumahnya tak mulus seperti jalan-jalan kota. Ada
banyak lubang yang membentuk gelombang. Sepeda yang aku kendarai
melompat-lompat tak beraturan. Tak ada tangan nyasar memegang baju atau samping
perutku. Dia memegang pangkon besi di bagian belakang sepedaku. Jika dalam darurat
gelombang dan getirnya suasana aku tak dibutuhkan, bagaimana mungkin aku
dibutuhkan pada suasana bahagianya? Harapanku semakin tipis. Aku semakin takut
saja, lebih takut dari sebelumnya.
"Anggap
saja kita tidak punya hubungan apa-apa. Kau boleh lakukan apa yang kau mau.
Tapi jangan musuhi aku. Karena tidak mencintai bukan berarti memusuhi bukan?"
Kuucapkan kata itu sebelum pergi berpamitan kepada kedua orang tuanya.
Mencintai
orang yang tidak mencintaiku mengajarkan keikhlasan. Orang ikhlas tidak pernah
peduli apa yang dia berikan. Aku seharusnya tidak peduli terhadap sikap dan
perbuatan orang yang aku cintai. Seharusnya aku merelakan cintaku untuk
diapakan saja, diterima, dipending atau justru ditolak. Cinta ya, cinta. Jika
ia sejati, maka sampai kapanpun tidak akan berubah. Ia akan berwujud seperti
asalnya, tetap "Cinta".
****
Tahun
kedua, bulan pertama, April hari ke empat, jam 15.30 di sebuah hotel aku
melihat kau bersama seorang lelaki yang seringkali kulihat menemanimu. Aku
sengaja mengikutimu ke sana. Kau sepertinya balikan lagi setelah dua tahun
putus. Sakit hati karena cemburu tentu ada, penuh justru. Tapi apalah
pentingnya aku cemburu pada seseorang yang tiada pernah peduli pada sikap
cemburuku. Dua tahun aku mencoba menjadi teman yang baik untukmu, tidak sebagai
tunanganmu, meski nyatanya kita masih bertunangan. Untuk yang kesekian kalinya
aku mengikhlaskan segala tingkah lakumu. Aku cukup rela dan rasa ikhlasku belum
habis stoknya.
Aku
segera mengejarmu menuju kamar nomor 17. Kau keburu masuk. Sudah tak mungkin
aku mengetuk pintu kamarmu. Aku tau, lelaki dan perempuan rela se kamar hanya
untuk urusan cinta. Aku tak punya urusan cinta. Cintaku tak penting dibuat
urusan. Cintaku hanya satu pihak. Karenanya bukan urusan. Sudahlah, cinta tidak
pernah memaksakan apapun. Ia tumbuh dan tumbang dengan sendirinya, batinku.
Aku
menunggu mereka keluar kamar. Aku yakin mereka tak akan lama. Sudah kutanya
pada petugas check ini. Mereka hanya menyewanya selama 10 jam. 10 jam bukan
waktu yang sebentar bagi seorang lelaki yang sedang menahan amarah dan
cemburunya. Jika amarah dan cemburu dihitung setiap satu menit, maka 600 kali amarah
dan cemburu itu terulang selama 10 jam. Hanya saja kesabaranku belum habis. Aku
masih kuat berdiri merinding membayangkan sesuatu yang pasti menyakitkan
pikiranku.
Mencintai
seseorang memang membutuhkan banyak kesabaran. Kita harus sabar dalam
memahaminya, memperhatikannya, menurutinya dan sabar menjaganya. Kesabaran ini
tak lain adalah wujud kesetian kita padanya. Cinta memang dimulai seberapa
sabar kita merawatnya. Orang yang siap mencintai pastilah siap untuk bersabar.
Aku dan kesabaran adalah narasi panjang yang selama dua tahun terus
bergandengan tangan dengan sangat romantis. Kesabaran adalah wakil dari sikap
cemburu dan amarahku yang diminimalisir. Orang sabar bukan ia yang tak pernah
marah dan cemburu sama sekali, tapi ia yang selalu lebih pandai dalam menahan
cemburu dan marahnya. Kadang, ketika kemarahan dan kecemburuan ditampakkan,
terlihat sekali kebodohan kita, tapi saat kemarahan dan kecemburuan terkulum
dalam-dalam pada sikap sabar, kebodohan justru lebih tampak. Mencintai
seseorang juga membuat aku serba bodoh. Itulah cinta yang aku takutkan selama
ini. Saat jatuh cinta tak selesai, maka yang tersisa adalah kejatuhan dan
kebodohan diri yang menyakitkan. Menjadi bodoh karena cinta adalah yang
sebenarnya aku takutkan selama ini.
Setelah
12 jam menunggu, dan itu lama sekali, aku menyerah dan akhirnya pulang. Aku
putuskan untuk menempuh jalan yang paling mungkin, aku harus segera memutuskan
tali pertunangan ini. Pelatihan kesabaran sudah saatnya dihentikan. Aku telah
benar-benar belajar arti sabar dan itu sudah cukup. Mencintai seseorang yang
mencintai orang lain telah pula kunikmati sepanjang dua tahun. Ikatan
pertunangan tak memberiku kesempatan selain sempat-sempatnya aku belajar
ikhlas, sabar dan cukup mengerti. Mengemis cinta telah pula aku rasakan.
Menjadi bodoh telah pula aku lakukan. Inikah rasanya mencintai orang yang sama
sekali tidak mencintai?
Jalan
yang paling mungkin, selain takut, selain banyak berharap, selain percaya diri,
selain menunggu, selain sabar, selain ikhlas dan selain merelakan dirinya
dicabik-cabik oleh kekasihnya, aku memutuskan untuk tau diri, untuk pergi.
Pergi adalah jalan paling mungkin, jalan paling menyakitkan, jalan paling
menakutkan. Saat aku pergi, saat itu pula aku meletakkan kembali rasa takut dan
harapan yang terlalu besar berada pada tempatnya yang semula. Rasa takut
benarlah menakutkan, tapi mengembalikan rasa takut pada tempatnya adalah yang
paling mungkin. Kepergian adalah cara yang paling ampuh melepas rasa takut dan
harap yang menggunung.
Orang
yang tak dicintai selalu terpilih untuk dibenci, saat ia memaksa mencintai
orang yang tidak mencintainya. Itu artinya, cinta kapan saja dapat
menumbuhkembangkan kebencian pada sisi yang lain. Aku, dalam hal ini adalah
orang itu, yang mencintai dan setelahnya justru ditakdirkan untuk dibenci. Tak
ada yang salah pada cintaku, sebagaimana aku tak pernah menyalahkan cinta gadis
yang kucintai pada lelaki lain. Cinta bukan kekuasaan yang dictator, apalagi
otoriter. Aku hanya sebatang kayu yang beranting satu lalu beranting dua karena
menemukan sumber air. Kemudian ranting itu kembali satu saat satunya memilih
gugur dalam prosesnya
Cinta
yang paling menakutkan adalah saat ia membawa kebodohan dan kebencian. Apa yang
harus dibenci pada seorang lelaki yang ikhlas mencintai seorang perempuan?
Pantaskah rasa benci tiba di dada seorang perempuan pada lelaki yang tak
dicintainya karena memaksa mencintainya? Apakah cinta mendorong kebencian di
sisi lain? Apakah cintamu padanya membuatmu benci padaku? Itulah yang tak
pernah benar-benar aku mengerti. Lalu aku takut mencintai seseorang setelahnya.
Dan aku memilih jalan paling mungkin dari yang paling mungkin, yakni pergi
sebelum benar-benar dibenci oleh siapapun yang aku cintai.
Sumenep,
09 Oktober 2017
1 Comments
Giliran ka ayu nulis .. ayo ayo
ReplyDelete