Catatan Pinggir Dari Pulau Cendrawasih (12


Catatan Pinggir Dari Pulau Cendrawasih (12)

Oleh: Heri Gunawan

Buku adalah teman duduk yang tidak akan memujimu dengan berlebihan, sahabat yang tidak akan menipumu, dan teman yang tidak akan membuatmu bosan. Dia adalah tetangga yang tidak menyakitimu. Dia adalah teman yang tidak akan memaksamu mengeluarkan apa yang anda miliki. Dia tidak akan memperlakukanmu dengan tipu daya, tidak akan menipumu dengan kemunafikan dan tidak akan membuat kebohongan (Imam Al-Jahizh).

Di sadari atau tidak sosial media (sosmed) di negeri ini semakin hari kian parah. Setiap orang mulai dari anak-anak hingga dewasa, baik yang berpendidikan atau tidak, baik yang bekerja atau tidak, bahkan hingga orang jahat pun sangat bebas bertindak dan mengekpresikan dirinya menggunakan sosmed. Lebih parahnya sebagian para pengguna sosmed sudah tidak takut dan tidak segan-segan lagi untuk mengedit foto dan membuat meme-meme lucu pejabat negara bahkan hingga mengedit dan membaut meme foto Presiden. 

Ujaran kebencian dan kata-kata kotor pun tidak ketinggalan memenuhi sosmed setiap hari. Di tambah dan diperkeruh lagi dengan berita-berita hoax _(bohong)_yang disebarkan secara berantai hingga membanjiri jagat maya. Bahkan pengaruh media sosial ini, sebuah peristiwa atau isu yang awalnya hanya biasa biasa saja bisa disulap dan dirubah menjadi isu yang besar kerena terus disebar luas dan dikampanyekan. Pun begitu juga sebaliknya sebuah peristiwa atau informasi besar dan penting untuk kita ketahui akan tetapi karena kelicikan dan kepandaian media untuk mengalihkan isu dan menyembunyikannya sehingga menjadi peristiwa tersebut yang awalnya besar menjadi kecil dan hal yang biasa, bahkan bisa menjadi sesuatu yang kita ketahui dan sadari. Sehingga, mungkin ada benarnya ungkapan Ketua Mahkamah Agung RI di era 60-an yakni Said Ali bahwasnya Napoleon Bonaparte lebih takut kepada sepuluh wartawan ketimbang seratus tentara, karena wartawan bisa saja memutar balik dan menyulap sebuah berita dan fakta sehingga masyarakat terkelabui, bahkan mampu menimbulkan dendam dan terprovokasi yang mana acap kali berujung menjadi anarkisme.

Melihat keadaan sosmed yang sudah parah seperti sekarang ini, sehingga tidak heran dalam bahsul masâil kalangan santriwati di Kediri yang mengeluarkan fatwa akan haramnya menggunakan Facebook dan Friendster. Hukum ini dikeluarkan karena melihat bahaya dan rentannya kejahatan-kejahatan yang dilakukan salah satu aplikasi ini. Lihat (Fiqh Minoritas Fiqh Al-Aqalliyât: Lkis. 2010). Adapun masalah setuju atau tidaknya kita dengan fatwa hukum yang dikeluarkan oleh santriwati di Kediri ini, kembali kepada diri kita masing-masing, dan saya kira setiap orang juga pasti memiliki dasar dan dalil.

Memang kalau boleh jujur, saya sendiri kerena masih awam terkadang sering kali takut ketika membaca bahkan hingga curiga dan ragu akan kebenaran suatu berita atau informasi yang terus bertebaran di jagat maya saat ini. Terkeculi apabila berita dan informasi itu datang dari orang yang saya kenal keilmuan dan kejujurannya. Karena saya yakin orang-orang ‘alim’ apalagi tokoh besar tidak mungkin asal-asalan menyebarkan suatu berita atau informasi sebelum mereka mengoreksi dan memfilter (Menyaring) berita tersebut terlebih dahulu. 

Selain itu salah satu cara saya untuk membendung dan menjaga diri dari bahaya sosmed ini adalah berusaha untuk mengurangi membaca berita maupun tulisan yang tersebar terutama di Facebook dan menggantinya dengan beruasaha memperbanyak membaca buku. Ya, saya kira membaca dan mengkonsumsi buku-buku, entah itu buku apa pun merupakan salah satu cara terbaik untuk menjaga memagari diri dari derasnya berita yang bertebaran di sosmed. Saya yakin dengan memperbanyak membaca kita akan mampu menyaring segala berita dan informasi sehingga tidak ditelan mentah-mentah.

Sungguh bijak dan agung apa yang untaian mutiara Imam al-Jahizh sebagaimana pembukaan tulisan di atas sebagai motivasi bagi kita untuk menumbuhkan semangat membaca. Bahwasanya buku tidak akan pernah membohongi dan menipu kita karena sebelum suatu karya atau buku itu terbit dan beredar, tentunya telah melewati berbagai seleksi yang ketat dan alot. Walau pun mungkin ada buku-buku yang mengundang protes masyarakat akan tetapi sangat jarang sekali. Dan terjadinya protes pun, karena disebabkan dua kemungkian yakni keteledoran si penulis atau pembaca yang gagal paham dari pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang. Di samping itu buku juga merupakan ilmu dan informasi yang awet. Ini sangat berbeda jauh dengan berita atau tulisan-tulisan di sosmed.

Saya juga tidak bisa membayangkan apabila  seseorang sudah mencapai tingkat Mabuk dan jatuh-cinta pada buku (kutu buku). Mereka akan terus membaca dan membaca, memburu dan mencari buku yang belum dibacanya. Apabila satu hari saja tidak membaca, maka ia akan merasa ada yang kurang sehingga galau berat. Layaknya dua sejoli yang saling mencintai, satu hari saja tidak ada kabar atau tidak berkomunikasi maka mereka akan galau dan susah makan dan hingga tidur. 

Setiap hari diisi dengan memperbanyak membaca buku, lambat laun akan mampu membangun kerangka berfikir yang baik. Karena apa yang kita asup setiap hari, itulah yang akan membentuk kerangka berfikir dan kecerdasan kita. Pun begitu juga sebaliknya apabila seseorang hanya membaca tulisan  atau status-status di sosmed, lambat tanpa mereka sadari akan terkontaminasi juga, bahkan mohon maaf pada akhirnya bisa saja akan mereka terpengaruh membuat dan menulis status-status alay. 

Lebih parah dan berbaha lagi apabila seseorang menjadikan bacaan di sosmed sebagai refrensi atau dasar dalam melakukan suatu tindakan tanpa adanya tabayyun dan filter (saringan) sebelumnya. Karena tulisan-tulisan yang ada di sosmed, bagi saya patut untuk dicurigai bahkan hingga diwaspadai karena di internet ini semua orang bisa menulis atau berekspresi. Anak-anak kecil pun bebas menghiasi jagat maya dengan tulisannya walaupun itu salah. Hal ini tentunya berbeda jauh dengan buku, apalagi kitab yang hanya mampu ditulis para ulama dan orang-orang pilihan.

Di sampig itu, bagi saya sejatinya buku baru tidak cukup hanya diukur karena baru terbit atau baru beredar dan menghiasi toko-toko buku, akan tetapi walaupun buku itu telah diterbitkan beberapa tahun silam bahkan beribu tahun lalu, selama kita belum mempelajari dan membacanya, tetap saja menjadi buku baru dan ilmu baru juga ketika kita mempelajarinya. Berangkat dari asumsi di atas, sehingga saya yang masih berusaha meningkatkan minat baca pun berusaha untuk tidak pilah-pilih ketika membaca buku. Buku apapun, entah itu baru atau lama, buku Islami yang berhalauan kanan atau kiri (mengadopsi pemikiran-pemikiran Barat).

Sebagai akhir dari tulisan singkat ini marilah kita renungi sebuah pepatah arab yang cukup bijak “Sebaik-baik teman duduk setiap saat adalah kitab (buku)”. Pepatah ini menyiratkan makna bahwa setiap orang pasti memiliki teman yang menemani duduk dan waktu laungnya. Dan sebaik-baik teman dikala senggang adalah kitab (buku). Seseorang, lebih-lebih kita sebagai pelajar ketika memiliki waktu luang hendaknya berusaha untuk membaca atau menulis bahkan harus mengorbankan waktu istirahat atau bermain demi membaca ataupun menulis. Bukan justru sebaliknya semua waktu kosong hanya diisi dengan bermain media sosial. Karena apabila kebiasaan ini yang terjadi pada diri kita, maka waktu dan kesempatan yang kita miliki akan tersita dan terbuang sia-sia. 

Sekali lagi, saya sama sekali tidak anti sosmed, akan tetapi bagaimana dunia maya ini kita seimbangkan dengan membaca dan membaca. Jangan sampai hanya karena dimanjakan oleh internet yang serba instan ini membuat kita jauh dan malas dari membaca buku. Internet atau sosmed hendaknya dikuasai bukan kita dikuasai, mampu kita manfaatkan bukan dimanfaatkan, sebagai alat bukan diperalat.

Sorong, Papua Barat 06 Oktober 2017

Post a Comment

0 Comments