Sarjana untuk Ayah

“Nak, ayah tidak ingin lebih darimu, hanya saja ayah ingin melihatmu wisuda.” sepulang dari rumah selalu terngiang akan ucapan ayah. Entah kenapa kalimat itu menjadi cambuk semangatku dalam menjalani tugas semester akhir.

Dari siang sampai malam dan ketemu siang lagi, tidak ada hari yang kusia-siakan untuk mempercepat wisudaku. Tak peduli musim angin, hujan, dan panas semua aku terjang demi ayah. 

Namun kefokusanku sudah melampaui batas, tidak ada kata istirahat sedikit pun. Sampai-sampai panggilan telepon berkali-kali pun tak terdengar olehku. Ah, panggilan telepon dari adik mungkin hanya mengingatku untuk makan, gumamku.

Keesokan hari, jadwal sidang skripsi telah tiba. Sempat teringat ucapan ayah, ingin sekali mengatakannya bahwa hari ini sidangku. Tapi semua itu kuurungkan hingga semua benar-benar telah selesai.

Berkutat dengan waktu, akhirnya aku dinyatakan lulus. Aku menjadi mahasiswi terbaik angkatanku, ternyata benar bahwa usaha tidak akan mengkhianati hasil. Dengan senang hati aku langsung mengabari adik, namun panggilan selalu sibuk. 

Esok hari kulakukan perjalanan pulang, tak sabar melihat raut wajah ayah yang selama ini ingin melihatku wisuda, memakai toga cantik, dan bergaun bak bidadari. Menjadi kebanggaan ayah untuk diceritakan ke sanak saudara bahwa anaknya telah menjadi sarjana. Pastinya juga membanggakan almarhumah ibu.

Namun, setiba di rumah aku tak melihat ayah, hanya ada adikku seorang. Lantas ke mana ayah? Bukankah untuk jalan saja harus dibantu? Melihatku, adikku langsung memeluk erat tubuhku.

Dia mengajakku keluar entah ke mana, “Di mana ayah, Nay?” tanyaku. Sepanjang perjalanan adikku diam seribu bahasa. Seakan ada misteri dibalik kepulanganku. Hingga tiba tepat di depan pemakaman umum, dia memberi tahu bahwa ayah telah bahagia di sini. Mendengar kata-kata itu hatiku seakan retak, duniaku hancur. Aku terjatuh seperti burung yang tertembak, dan mendekap erat nisan ayah. “Ayah sarjana ini untukmu.”

Post a Comment

0 Comments